*terharuuuu...
Aksi
Sondang, Untuk Revolusi ataukah Cari Sensasi
Indonesia
baru-baru ini dikejutkan dengan aksi yang dilakukan oleh aktivis HAM Sondang
Hutagalung. Aksi tersebut berupa pembakaran diri di depan Gerbang Barat Monas atau di seberang
Istana Merdeka. Tidak ada yang tau maksud atau motif pasti yang
melatarbelakangi aksi Sondang tersebut. Sondang merupakan seorang mahasiswa
Universitas Bung Karno (UBK) dan aktivis HAM yang tergabung dalam Hammurabi
(Himpunan Advokasi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia),
sebuah organisasi yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM), di mana Sondang
menjadi ketua tiga bulan lalu.
Di
mata kawan-kawannya, dalam kesehariannya di luar organisasi, Sondang merupakan
seorang yang periang dan senang bercanda. Namun, ketika pembicaraan sudah
menyangkut HAM, Sondang akan menjadi sosok yang serius, terkadang diam
mendengarkan. Namun, dalam setiap aksi yang digelar, Sondang selalu menyelipkan
teatrikal. Selain mengonsep aksi teatrikal,
Sondang selalu turut menjadi bagian dari teatrikal tersebut. Teartikal Sondang
dipersembahkan saat menggelar aksi Papua, penuntasan kasus Munir, dan aksi
menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen. Bagi para aktivis HAM, di mana Sondang tercatat sebagai bagian dari
Sahabat Munir, Sondang jarang sekali absen untuk mengikuti aksi Kamisan. Sebuah
aksi yang digelar setiap Kamis sore di depan Istana Merdeka, untuk mengingatkan
pemerintah agar mengusut tuntas pelanggaran HAM di masa lalu, dan sudah digelar
ratusan kali. Bagi Sondang, dengan mengikuti aksi ini, semakin menguatkan
dirinya berjuang membela dan mengusut tuntas pelanggaran HAM.
Berbagai
dugaan motif yang melatarbelakangi aksi Sondang tersebut muncul di permukaan. Dugaan
tersebut muncul karena tidak adanya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat
luas akan maksud sebenarnya dari aksi Sondang tersebut. Ada yang bilang aksi
tersebut dilakukan oleh Sondang untuk menuntut revolusi dan merupakan bukti
perlawanan masyarakat yang terlanjur jenuh atas kepemimpinan sekarang ini.
Karena seperti yang kita alami sekarang ini, sejak era kepemimpinan
SBY-Boediono tidak ada perubahan kearah yang lebih baik, dan itu sangat jauh dari
harapan masyarakat Indonesia. Atau mungkin saja Sondang ingin menyampaikan
bahwa konflik tentang ketidakadilan itu sudah muncul dipermukaan, dengan cara
yang berbeda. Namun, sekali lagi, kita belum dapat memastikan karena
keterbatasan pengetahuan kita akan aksi Sondang tersebut.
Sebagian
besar mahasiswa menilai bahwa aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Sondang sebagai
teguran keras terhadap pemerintah. Aksi ini dapat terjadi karena pemerintah
tidak lagi mendengar teriakan rakyat jika hanya dengan turun ke jalan saja.
Entah pemerintah sekarang yang sudah tidak bisa mendengar atau memang
pemerintah sekarang tidak mau lagi peduli terhadap ratusan juta rakyat
Indonesia.
Aksi
bakar diri Sondang tidak pernah terjadi saat rezim orde lama begitu juga saat
turunnya Soeharto pada Orde Baru. Padahal kalau kita mengingat kembali kebobrokkan
pemerintah saat orde baru maupun orde lama tidak sedikit jumlahnya. Apakah ini
menandakan bahwa kebobrokkan pemerintah sekarang sudah tidak dapat ditolerir
lagi sehingga muncul aksi bakar diri Sondang. Dan tidak memungkinkan akan
muncul Sondang-Sondang lainnya jika pemerintah tidak bergegas mengevaluasi
semua kebijakannya.
Kebobrokan
pemerintah khususnya dalam kasus pelanggaran HAM dapat terlihat dari banyaknya
kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh proses hukum selama bertahun-tahun.
Sebut saja kasus Bulukumba yang terjadi pada tahun 2003 silam. Kasus yang
mengakibatkan dua orang tewas, puluhan orang ditahan dan luka-luka ini terjadi
akibat keinginan PT. LONDON Sumatera yang ingin memperluas daerah perkebunan
mereka namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Atau kasus
timor-timur pra referendum yang dimulai
dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang
sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer
rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
Namun
yang ada pemerintah malah terkesan berusaha menutup-nutupi aksi bakar diri
Sondang tersebut. Aksi bakar diri Sondang malah dipandang sebelah mata oleh
pemerintah. Hal ini terlihat dari tidak adanya reaksi kongkret dari pemerintah
atas aksi yang dilakukan oleh saudara Sondang Hutagalung. Malahan pemerintah
cenderung ingin melemparkan kesalahan kepada para Dewan sebagai penyalur
aspirasi masyarakat. Pemerintah malah menuding DPR yang kehilangan kepercayaan
masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, sehingga muncul aksi bakar diri
seperti ini. Media pun terkesan meminimalisir atau bahkan menutup-nutupi akses
pemberitaan tentang aksi Sondang tersebut. Seperti halnya saat menutupi kasus
Gayus dengan mengangkat kasus lain atau yang terlihat jelas saat ini,
menutup-nutupi kasus Nazaruddin dengan mengangkat isu penangkapan Nunun.
Namun,
bagaimanapun aksi bakar diri yang dilakukan oleh Sondang masih belum jelas
latar belakangnya. Memang terdapat kemungkinan yang sangat besar bahwa aksi
tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Sondang atas perubahan Indonesia
menuju yang lebih baik. Namun tidak menutup kemungkinan juga bahwa aksi bakar
Sondang tersebut dilatarbelakangi oleh sebab-sebab lain yang malah dibesar-besarkan
oleh pihak lain untuk memunculkan sensasi. Karena bagaimanapun, aksi protes
untuk apapun tidak harus sampai perlu menghilangkan nyawa diri sendiri ataupun
orang lain. Di dalam ajaran agama manapun setiap manusia dilarang menghilangan
nyawa yang berarti merusak kehidupan yang telah diciptakan Tuhan. Sondang telah
berani menembus batas-batas kewajaran untuk memperjuangkan sesuatu yang
diyakininya benar.
Nah
sekarang tinggal bagaimana kita, para kaum intelektual, menyikapi aksi bakar
diri yang dilakukan oleh saudara kita yang berani, Sondang Hutagalung. Akankah
kita tergerak untuk melakukan sesuatu demi perubahan Indonesia ke arah yang
lebih baik ataukah kita malah menonton dari kejauhan saja dan membiarkan kisah
heroik Sondang ditelan waktu dan kemudian dilupakan. Semua pilihan ada ditangan
kita masing-masing. Akankah kita menjadi kaum intelektual yang hanya diam
melihat realitas bangsa yang terjadi saat ini ataukah kita akan menjadi para
revolusioner yang akan menggerakkan Indonesia ke arah yang lebih baik sebagai
wujud tanggung jawab sosial kita kepada bangsa dan negara.
NB::
Untuk Indonesia yang Lebih Baik
keren mbak
BalasHapustaufan:: inipun masih butuh perbaikan :(
BalasHapusbaguslah kau bisa menulis kaya begini...ndak nyangka saja...dan ibu bangga na..
BalasHapus