Minggu, 18 Desember 2011

artikel BKMA

nda nyangka bisa bikin tulisan seperti ini..
*terharuuuu...



Aksi Sondang, Untuk Revolusi ataukah Cari Sensasi
Indonesia baru-baru ini dikejutkan dengan aksi yang dilakukan oleh aktivis HAM Sondang Hutagalung. Aksi tersebut berupa pembakaran diri  di depan Gerbang Barat Monas atau di seberang Istana Merdeka. Tidak ada yang tau maksud atau motif pasti yang melatarbelakangi aksi Sondang tersebut. Sondang merupakan seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) dan aktivis HAM yang tergabung dalam Hammurabi (Himpunan Advokasi dan Studi Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia), sebuah organisasi yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM), di mana Sondang menjadi ketua tiga bulan lalu.
Di mata kawan-kawannya, dalam kesehariannya di luar organisasi, Sondang merupakan seorang yang periang dan senang bercanda. Namun, ketika pembicaraan sudah menyangkut HAM, Sondang akan menjadi sosok yang serius, terkadang diam mendengarkan. Namun, dalam setiap aksi yang digelar, Sondang selalu menyelipkan teatrikal.  Selain mengonsep aksi teatrikal, Sondang selalu turut menjadi bagian dari teatrikal tersebut. Teartikal Sondang dipersembahkan saat menggelar aksi Papua, penuntasan kasus Munir, dan aksi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen.   Bagi para aktivis HAM,  di mana Sondang tercatat sebagai bagian dari Sahabat Munir, Sondang jarang sekali absen untuk mengikuti aksi Kamisan. Sebuah aksi yang digelar setiap Kamis sore di depan Istana Merdeka, untuk mengingatkan pemerintah agar mengusut tuntas pelanggaran HAM di masa lalu, dan sudah digelar ratusan kali. Bagi Sondang, dengan mengikuti aksi ini, semakin menguatkan dirinya berjuang membela dan mengusut tuntas pelanggaran HAM.
Berbagai dugaan motif yang melatarbelakangi aksi Sondang tersebut muncul di permukaan. Dugaan tersebut muncul karena tidak adanya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat luas akan maksud sebenarnya dari aksi Sondang tersebut. Ada yang bilang aksi tersebut dilakukan oleh Sondang untuk menuntut revolusi dan merupakan bukti perlawanan masyarakat yang terlanjur jenuh atas kepemimpinan sekarang ini. Karena seperti yang kita alami sekarang ini, sejak era kepemimpinan SBY-Boediono tidak ada perubahan kearah yang lebih baik, dan itu sangat jauh dari harapan masyarakat Indonesia. Atau mungkin saja Sondang ingin menyampaikan bahwa konflik tentang ketidakadilan itu sudah muncul dipermukaan, dengan cara yang berbeda. Namun, sekali lagi, kita belum dapat memastikan karena keterbatasan pengetahuan kita akan aksi Sondang tersebut.
Sebagian besar mahasiswa menilai bahwa aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Sondang sebagai teguran keras terhadap pemerintah. Aksi ini dapat terjadi karena pemerintah tidak lagi mendengar teriakan rakyat jika hanya dengan turun ke jalan saja. Entah pemerintah sekarang yang sudah tidak bisa mendengar atau memang pemerintah sekarang tidak mau lagi peduli terhadap ratusan juta rakyat Indonesia.
Aksi bakar diri Sondang tidak pernah terjadi saat rezim orde lama begitu juga saat turunnya Soeharto pada Orde Baru. Padahal kalau kita mengingat kembali kebobrokkan pemerintah saat orde baru maupun orde lama tidak sedikit jumlahnya. Apakah ini menandakan bahwa kebobrokkan pemerintah sekarang sudah tidak dapat ditolerir lagi sehingga muncul aksi bakar diri Sondang. Dan tidak memungkinkan akan muncul Sondang-Sondang lainnya jika pemerintah tidak bergegas mengevaluasi semua kebijakannya.
Kebobrokan pemerintah khususnya dalam kasus pelanggaran HAM dapat terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh proses hukum selama bertahun-tahun. Sebut saja kasus Bulukumba yang terjadi pada tahun 2003 silam. Kasus yang mengakibatkan dua orang tewas, puluhan orang ditahan dan luka-luka ini terjadi akibat keinginan PT. LONDON Sumatera yang ingin memperluas daerah perkebunan mereka namun mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Atau kasus timor-timur  pra referendum yang dimulai dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
Namun yang ada pemerintah malah terkesan berusaha menutup-nutupi aksi bakar diri Sondang tersebut. Aksi bakar diri Sondang malah dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari tidak adanya reaksi kongkret dari pemerintah atas aksi yang dilakukan oleh saudara Sondang Hutagalung. Malahan pemerintah cenderung ingin melemparkan kesalahan kepada para Dewan sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Pemerintah malah menuding DPR yang kehilangan kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, sehingga muncul aksi bakar diri seperti ini. Media pun terkesan meminimalisir atau bahkan menutup-nutupi akses pemberitaan tentang aksi Sondang tersebut. Seperti halnya saat menutupi kasus Gayus dengan mengangkat kasus lain atau yang terlihat jelas saat ini, menutup-nutupi kasus Nazaruddin dengan mengangkat isu penangkapan Nunun.
Namun, bagaimanapun aksi bakar diri yang dilakukan oleh Sondang masih belum jelas latar belakangnya. Memang terdapat kemungkinan yang sangat besar bahwa aksi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Sondang atas perubahan Indonesia menuju yang lebih baik. Namun tidak menutup kemungkinan juga bahwa aksi bakar Sondang tersebut dilatarbelakangi oleh sebab-sebab lain yang malah dibesar-besarkan oleh pihak lain untuk memunculkan sensasi. Karena bagaimanapun, aksi protes untuk apapun tidak harus sampai perlu menghilangkan nyawa diri sendiri ataupun orang lain. Di dalam ajaran agama manapun setiap manusia dilarang menghilangan nyawa yang berarti merusak kehidupan yang telah diciptakan Tuhan. Sondang telah berani menembus batas-batas kewajaran untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakininya benar.
Nah sekarang tinggal bagaimana kita, para kaum intelektual, menyikapi aksi bakar diri yang dilakukan oleh saudara kita yang berani, Sondang Hutagalung. Akankah kita tergerak untuk melakukan sesuatu demi perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik ataukah kita malah menonton dari kejauhan saja dan membiarkan kisah heroik Sondang ditelan waktu dan kemudian dilupakan. Semua pilihan ada ditangan kita masing-masing. Akankah kita menjadi kaum intelektual yang hanya diam melihat realitas bangsa yang terjadi saat ini ataukah kita akan menjadi para revolusioner yang akan menggerakkan Indonesia ke arah yang lebih baik sebagai wujud tanggung jawab sosial kita kepada bangsa dan negara.

NB:: Untuk Indonesia yang Lebih Baik

3 komentar:

  1. taufan:: inipun masih butuh perbaikan :(

    BalasHapus
  2. baguslah kau bisa menulis kaya begini...ndak nyangka saja...dan ibu bangga na..

    BalasHapus